Beredarnya surat dari Bank yang men yamakan profesi Notaris dan PPAT hanya sebagai biro jasa, sangat merendahkan harga diri Notaris PPAT.
Sebelum membahas lebih jauh, soal ketersingungan kalangan Notaris dan PPAT yang tersinggung dengan Surat Kanwil BRI bernomor B 192-KW-V/ADK/02/2020 tertanggal 12 Februari 2020 yang di tanda tangani oleh Wapinwik, Muhammad Soleh Abdullah dan Kabag ADK, Via Zoudinta perihal “Persyaratan Deposit Untuk Rekanan Bidang Kredit Kanwil BRI Jakarta 1”
Pastinya, rekan sudah tidak asing lagi dengan arti kata mitra ataupun istilah perbankan disebut sebagai rekanan bank. Mitra atau rekanan bisa dikatakan sebagai teman, partner, sahabat atau hubungan dua belah pihak yang saling menguntungkan. Keberhasilan hubungan tersebut sangat bergantung kepada kepatuhan dua belah pihak dalam menjalankan perjanjian. Sebelum lebih lanjut, bicara soal rekanan antara Notaris PPAT dengan bank mari kita sejenak memikirkan : kenapa korupsi seringkali terjadi di Indonesia? Banyak pendapat tentang ini tentunya, tapi sederhana nya kata almarhum “Bang Napi” kejahatan bisa terjadi karena adanya kesempatan.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS pada Pasal 4 Angka 8 dinyatakan, PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan atau pekerjaannya. Mengutip Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pemberian komisi tersebut masuk dalam kategori gratifikasi.
Pengertian Gratifikasi menurut penjelas an Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001. Bahwa pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Rekan-rekan Notaris PPAT juga harus memperhatikan, Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi; “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Selain itu ada Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK.
Penjelasan Aturan Hukum Pasal 12 UU No. 20/2001: “Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
Terkait dengan Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan se suatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, maka bisa dikenakan sanksi.
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001, bisa dikenakan Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Lantas siapa saja yang dimaksud dengan
Penyelenggara Negara berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Bab II pasal 2, meliputi : Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, antara lain: Menteri, Gubernur, Hakim, Duta Besar, Wakil Gubernur, Bupati / Walikota dan Wakilnya. Sedangkan Pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis : Komisaris, Direksi, dan Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD, Pimpinan Bank Indonesia, Pimpinan Perguruan Tinggi.
Pimpinan Eselon Satu dan Pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan Sipil dan Militer seperti : Jaksa, Penyidik, Panitera Pengadilan, Pimpinan Proyek atau Bendaharawan Proyek dan Pegawai Negeri
Lebih jauh bicara soal korupsi, sebenarnya apa sih korupsi? Undang-Undang No.31 th.1999 jo UU No.20 th.2001 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi mendefenisikannya sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi atau perekonomian negara. Memang, yang dapat dijerat dengan UU tersebut adalah pejabat negara atau PNS. Artinya, ketentuan pidana dalam UU tersebut hanya dikenakan kepada seorang pejabat negara atau PNS yang melakukan perbuatan di atas. Akan tetapi, kalau kita mau lihat secara substantif maka siapapun yang melakukan ketiga unsur ini, yaitu: (a) melakukan perbuatan melawan hukum; (b) untuk memperkaya diri sendiri; dan (c) yang dapat merugikan keuangan negara, bisa disamakan dengan koruptor.
Kemitraan Yang Semu Bank Pemerintah dengan Notaris
Menurut Tenyson (1998), kemitraan adalah kesepakatan antar sektor dimana individu, kelompok atau organisasi sepakat bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban atau melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama menanggung resiko maupun keuntungan dan secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama.
Kemitraan memiliki prinsip-prinsip dalam pelaksanaannya. Wibisono (2007, hal. 103) merumuskan tiga prinsip penting dalam kemitraan, yaitu:
1. Kesetaraan atau keseimbangan (equity). Pendekatannya bukan top down atau bottom up, bukan juga berdasarkan kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling meng hargai dan saling percaya. Untuk meng hindari antagonisme perlu dibangun rasa saling percaya. Ksetaraan meliputi ada nya penghargaan, kewajiban, dan ikatan.
2. Transparansi.
Transparansi diperlukan untuk meng hindari rasa saling curiga antar mitra kerja. Meliputi transparansi pengelolaan informasi dan transparansi pengelolaan keuangan.
3. Saling menguntungkan. Suatu kemitra an harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat. Dalam proses implementasi nya kemitraan yang dijalankan tidak selamanya, ideal, karena dalam pelaksanaan nya kemitraan yang dilakukan didasarkan pada kepentingan pihak yang bermitra.
Menurut Saya, kemitraan yang dilakukan antara Notaris PPAT dengan Bank pemerintah yang mewajibkan Notaris – PPAT jika ingin menjadi Notaris yang membuat akta pada bank membuka rekening dan menempatkan sejumlah dana di Bank tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh pihak Bank serta adanya kewajiban pemberian komisi atas biaya dari setiap akta yang dibuat oleh Notaris PPAT pada Bank tersebut, yang besarnya juga ditetapkan langsung atau tidak langsung ditetapkan oleh oknum-oknum pihak Bank. yang terang terangan atau bawah tangan.
Maka disini bisa Saya tegaskan bahwa kerjasama ini menurut Saya, pertama dapat mengarah kepada pola kemitraan yang kontra produktif. Pola ini akan ter jadi jika perusahaan perbankan masih berpijak pada pola konvensional yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders yaitu mengejar profit sebesar-besarnya. tanpa melihat betapa posisi Notaris PPAT yang membuat kan akta otentik tidak berarti padahal tanpa adanya akta otentik berupa SKMHT, APHT perbankan tidak mempunyai jaminan atas kredit yang diberikan kepada nasabah;
Dan fokus perhatian perusahaan me mang lebih bertumpu pada bagaimana perusahaan bisa meraup keuntungan secara maksimal, sementara hubungan dengan pemerintah dan komunitas atau masyarakat hanya sekedar pemanis belaka. Perusahaan berjalan dengan targetnya sendiri, pemerintah juga tidak ambil peduli, sedangkan Notaris PPAT hanya dijdikan sapi perahan dengan kewajiban memberikan komisi. Namun jika terjadi masalah atas kredit yang diberikan bermasalah tidak sedikit oknum perbankan yang menyalahkan kinerja rekan mitra nya Notaris dan PPAT yang tidak teliti dan hati-hati..
Dan hubungan ini juga hanya meng untungkan beberapa oknum saja, misalnya oknum pejabat diperbankan. Biasanya, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan hanyalah digunakan untuk memeilihara orang-orang tertentu saja.
Hal ini tentunya harus dipahami, kalang an perbankan utamanya keamanan dalam jangka pendek. Dalam sekenario ini kemitraan dapat saja terjadi namun lebih bersifat semu dan bahkan menonjolkan kesan negatif. Dan akibatnya, kalangan perbankan bisa dikenakan sanksi yang tidak bisa dianggap ringgan.
Terlebih ini juga bisa memicu terjadinya gejolak seperti yang terjadi belakangan ini, di kalangan Notaris PPAT. Keadaan terburuk juga mungkin terjadi yakni terhentinya aktivitas atau bahkan kepercayaan masyarakat terhadap bank terkait.
.
Pola Kedua adalah pola kemitraan Semiproduktif. Dalam sekanario ini pemerintah dan komunitas dianggap sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan. Perusahaan tidak tahu program-program pemerintah, pemerintah juga tidak memberikan iklim yang kondusif kepada dunia usaha dan masyarakat bersifat pasif.
Pola kemitraan ini masih mengacu pada kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak menimbulkan sense of belonging di pihak masyarakat dan low benefit dipihak pemerintah. Kerjasama lebih mengedepankan aspek karitatif atau public relation, dimana pemerintah dan komunitas atau masyarakat masih lebih dianggap sebagai objek. Dengan kata lain, kemitraan masih belum strategis dan masih mengedepankan kepentingan sendiri (self interest) perusahaan, bukan kepentingan bersama (commont interest) antara perusahaan dengan mitranya.
Sedangkan pola ketiga yaitu Pola Kemitraan Produktif. Pola kemitraan ini menempatkan mitra sebagai subyek dan dalam paradigma commont interest. Prinsip simbiosis mutualisme sangat kental pada pola ini. Perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, pemerintah memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan masyarakat memberikan dukungan positif kepada perusahaan.
Ada pula model Kemitraan lainnya yang bisa diterapkan oleh Ikatan Notaris Indonesia dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu kemitraan “Linear Union of Partnership” yaitu pihak-pihak yang bekerjasama memiliki persamaan secara relatif, baik tujuan, misi, volume usaha, status atau legalitas.
Selain itu, kemitraan “Linear Collaborative of Partnership” bisa juga dipakai dalam kemitraan ini, dimana pola ini tidak membedakan besaran volume, status atau legalitas, atau kekuatan para pihak, namun tekanan utama adalah kesamaan visi dan misi. kedudukan yang sejajar , independen dan saling menguntungkan , bukan meniadakan pihak lain, apalagi menggolongkan Notaris PPAT sebagai biro jasa.. padahal ketentuan UU Jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004 jonto UUJN P nomor 2 tahun 2014 dan PP 37/1997 tentang Jabatan PPAT menyebutkan Notaris dan PPAT adalah pejabat umum. artinya apa? artinya pejabat umumlah yang dapat membuat akta otentik atas permintaan para pihak , termasuk pihak bank.. dari ketentuan tersebut sudah selayaknya para pihak dan terutama rekan-rekan perbankan memahami dan menempatkan Notaris dan PPAT pada posisi yang terhormat , begitu juga rekan-rekan Notaris dan PPAT harus menjaga marwah jabatan dan kehormatan dengan baik sebagaimana diatur dalam UUJN dan PP 37.
Harga sebuah Kehormatan bukan dinilai atas hasil kerja tapi jauh lebih mulia dari itu. Kepercayaan masyarakat atas profesi Notaris dan PPAT jangan sampai terkikis dan bisa runtuh justru karena kita tidak menjaga harkat martabat jabatan kita sendiri sebagai Notaris dan PPAT..
Mari kita ambil hikmah dari kejadian ini dan intropesksi atas kinerja kita selama ini; jangan biarkan ada pihak lain yang meremehkan harkat martabat jabatan kita sebagai Notaris dan PPAT karena kinerja kita yang buruk.
Jakarta, 5 Maret 2020