- LATAR BELAKANG
Seberapa besar peran dan tugas Negara adalah menjamin ketertiban serta mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warganya? Jika pertanyaan itu di lontarkan kepada pemerintah kita, maka jawabannya sederhana. Dalam konteks ini secara jelas dicantumkan dalam pembukaan UUD 45 yang antara lain mengamanatkan bahwa Negara RI bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menjaga ketertiban dunia. Untuk itu, Negara pada dasarnya berkewajiban memenuhi hak-hak dasar bagi warganya, seperti; tempat tinggal, pekerjaan yang layak, sandang, pangan dan papan serta lingkungan yang memadai sehingga Negara dituntut dapat memanfaatkan setiap jengkal tanahnya secara optimal.
Mendesaknya penerapan manajemen pertanahan tersebut di antaranya dipicu dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia, sehingga tanah yang sifatnya statis harus mampu menyediakan kebutuhan dasar para penghuninya. Senin, 5 Oktober 2020 dalam sidang paripurna DPR dan Pemerintah menyetujui pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah disahkan oleh pemerintah. Yang di dalamnya, ada program yang akan mempengaruhi sektor pertanahan, yakni pembentukan bank tanah. Meski berbagai lapisan masyarakat terus menyuarakan ketidaksetujuannya karena prosedur dan substansinya yang bermasalah.
Sejak diserahkan oleh Pemerintah pada 12 Februari 2020, pembahasan RUU Cipta Kerja tetap dijalankan walaupun Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19. Dan pengesahan RUU ini, ternyata turut mempengaruhi Undang-Undang Agraria, ada kesan RUU Cipta Kerja terlalu “Dipaksakan”, adalah kata yang menggambarkan bagaimana cara DPR dan Pemerintah dalam menyusun undang-undang ini.
Sebelum menjadi Undang-Undang, Komnas Ham RI menilai lahirnya UU Cipta Kerja menilai penyusunan beleid omnibus law itu terkesan tergesa-gesa dan minim ruang partisipasi masyarakat. Kesimpulannya, Komnas HAM menegaskan bahwa ;
Pertama, Prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang telah diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Aturan ini masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Kedua, terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior. Di mana dalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.
Ketiga, RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Sehingga berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.
Hal itu tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.
Keempat, tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya. Sehingga, apabila RUU Cipta Kerja disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum.
Kelima, Pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.
Keenam, Pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi.
Hal ini diantaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan Amdal bagi kegiatan usaha, hingga berpotensi terjadinya alih tanggung jawab kepada individu.
Ketujuh, Relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi atau lembaga yang mengawasi kebijakan tata ruang dan wilayah, sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup.
Delapan, pemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah melalui perubahan UU Nomor 2 Tahun 2012 terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Sembilan, pemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses dan kepemilikan sumber daya alam terutama tanah antara masyarakat dengan perusahaan (korporasi).
Hal ini di antaranya terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20 persen dari luasan izin HGU, pembentukan Bank Tanah yang akan menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 tahun.
Kesepuluh, Politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif, karena lebih menjamin kepentingan sekelompok orang atau kelompok pelaku usaha atau korporasi. Sehingga mencederai hak atas persamaan di depan hukum.
2. Pengertian Bank Tanah
Terkait sektor pertanahan yang akan di bahas penulis, dan perlu diketahu pembaca bahwa Pemerintah telah membentuk badan “Bank Tanah” yang akan melakukan Reforma Agraria dan redistribusi tanah kepada masyarakat. Sebagaimana dikatakan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil, bahwa Kementerian ATR/BPN RI berperan mengumpulkan tanah kemudian dibagikan kembali atau restribusi kepada masyarakat dengan pengaturan ketat. Tapi benarkah demikian adanya?
Sebelum kita memasuki mengenai uraian tentang konsep “Bank Tanah” di Indonesia, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dulu apa itu “Bank Tanah”. Bank tanah atau land banking merupakan praktik membeli atau mengambil alih tanah yang nantinya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Bank tanah juga kerap digunakan untuk membantu pemerintah melestarikan ruang terbuka serta menstabilkan nilai tanah di suatu negara.
Bank tanah merupakan istilah standar yang berlaku di dunia internasional. “Bank tanah ini juga memungkinkan negara, memberikan tanah untuk rumah rakyat di perkotaan dengan harga yang sangat murah bahkan gratis,” terang Menteri Sofyan Djalil dalam satu kesempatan konferensi pers bersama UU Cipta Kerja,
Melansir dari website resmi Kemenkeu, bank tanah memiliki beberapa fungsi yakni:
– Penghimpun tanah atau pencadangan tanah (land keeper) sebagai media pengembangan data, administrasi, dan menyediakan informasi mengenai lahan atau pertanahan.
– Pengamanan tanah untuk berbagai kebutuhan pembangunan di masa akan datang (land warrantee)atau mengamankan tanah agar nantinya bisa digunakan secara optimal.
– Pengendali tanah (land purchaser) sebagai penguasa tanah yang menetapkan harga tanah sesuai dengan nilai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
– Pendistribusian tanah untuk berbagai keperluan pembangunan (land distributor) dan menjamin distribusi tanah berlangsung adil dan sesuai dengan kesatuan nilai tanah, mengamankan perencanaan, penyediaan, dan distribusi tanah.
3. Konsep Bank Tanah
Perlu diketahui bahwa secara substansi bank tanah melakukan pencadangan tanah bagi pemerintah untuk kemudian digunakan bagi kepentingan umum seperti yang telah diterapkan di beberapa negara maju seperti Belanda, Swiss, Swedia dan Amerika Serikat. Konsep Bank Tanah sudah dicetuskan di negara Barat sejak tahun 1700 an yang kemudian diadopsi oleh banyak negara termasuk negara asia. Beberapa pakar hukum pertanahan menyebutkan terkait ‘Bank Tanah’. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono,SH. MH, mengatakan bahwa Bank Tanah merupakan setiap kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari.
Evans (2004) mengatakan bahwa land banking as acquisition of land ahead of development either by construction companies or by central or local government or their agencies. Menurut Evans bank tanah diartikan sebagai pengadaan tanah sebelum pembangunan, baik oleh perusahaan konstruksi atau oleh pemerintah pusat atau daerah atau instansi mereka.
Alexander (2011) menjelaskan bahwabank tanah adalah proses atau kebijakan di mana pemerintah daerah memperoleh kelebihan properti dan mengubahnya menjadi penggunaan produktif atau menahannya untuk tujuan publik strategis jangka panjang.
Selanjutnya, Wilson, J. menyebutkan adalah lembaga keuangan pemerintah yang diberi mandat untuk memacu pembangunan pedesaan, dengan misinya memajukan pertumbuhan dan kesejahteraan khususnya di pedesaan.
Dalam penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa mekanisme bank tanah diperuntukan untuk penyedian tanah guna keperluan publik dan kesejahteraan masyarakat sehingga diperlukan campur tangan pemerintah.
Secara konseptual, ada dua bentuk bank tanah.
- Bank Tanah Umum (General Land Banking) dengan misi utama untuk menyediakan tanah bagi kebutuhan sosial dakam skala besar dan tidak mengejar keuntungan serta menjaga stabilitas harga tanah.
- Bank Tanah Khusus (Special Land Banking) yang bertugas menyediakan tanah dalam skala kecil untuk tujuan komersial.
Ditinjau dari fungsinya, bank tanah memiliki beberapa fungsi, menurut Siregar (2004) dalam Annaningsih (2007) fungsi bank tanah adalah sebagai berikut :
- Land Keeper, sebagai penghimpun tanah yaitu inventarisasi dan pengembangan database tanah, administrasi dan penyediaan sistem informasi pertanahan
- Land Warantee, sebagai pengamanan tanah yaitu menjamin penyediaan tanah untuk pembangunan, menjamin nilai tanah dan efisiensi pasar tanah yang berkeadilan, dan mengamankan peruntukkan tanah secara optimal.
- Land Purchaser, sebagai pengendali tanah yaitu penguasaan tanah, penetapan harga tanah yang terkait dengan persepsi kesamaan nilai pajak bumi dan bangunan.
- Land Valuer, sebagai penilai tanah yaitu melakukan penilaian tanah yang obyektif dalam menciptakan satu sistem nilai dalam penentuan nilai tanah yang berlaku untuk berbagai keperluan.
- Land Distributor, sebagai penyalur tanah yaitu menjamin distribusi tanah yang wajar dan adil berdasarkan kesatuan nilai tanah, mengamankan perencanaan, penyediaan dan distribusi tanah.
- Land Management, sebagai manajer tanah yaitu melakukan manajemen pertanahan yang merupakan bagian dan manajemen aset secara keseluruhan, melakukan analisis, penetapan strategi dan pengelolaan implementasi berkaitan dengan pertanahan.
Konsep Bank Tanah di Beberapa Negara
Bank tanah sudah lama diterapkan di berbagai negara dengan berbagai misi khusus yang disesuaikan dengan kondisi yang saat itu terjadi serta melihat pada tujuan kedepan yang ingin dicapai. Belanda sebagai salah satu pencetus bank tanah, membedakan konsep bank tanah sebagai sarana manajemen pertahanan dalam tiga kategori yakni:
- Exchange Land Banking: dalam kategori bank tanah sebagai exchange land banking, maka bank tanah akan membeli tanah yang selanjutnya tanah tersebut akan dipertahankan untuk sementara waktu sebelum tanah tersebut dilepaskan/dipertukarkan dengan pihak ketiga.
- Financial Instrument: kegiatan bank tanah sebagai financial instrument dilakukan dengan cara pemerintah membeli tanah untuk kemudian disewakan kepada para petani dengan periode yang lama (umumnya 26 tahun).
- Land Bank as Developer: land bank as developer pada umumnya dilakukan oleh sektor swasta dengan cara melakukan pembelian tanah dalam jumlah besar dengan harapan di masa depan akan perubahan fungsi atas lokasi tanah tersebut (spekulasi) seperti berubah menjadi daerah pemukiman, rekreasi, kegiatan ekonomi sehingga akan meningkatkan nilai tanahnya.
Sementara di Amerika Serikat, bank tanah dibangun untuk menangani fenomena masalah properti kosong yang terbengkalai dan mempercepat pembangunan kembali lingkungan tersebut serta berupaya untuk menyediakan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mengamankan properti dari spekulan tanah yang bermodal kuat. Dan seiring perkembangan waktu, bank tanah di Amerika Serikat juga mengakomodir pencadangan dan penyediaan tanah untuk kegiatan industri.
Serupa dengan bank tanah yang ada di Kolombia. Metro Vivienda yang terletak di Bogota sebagai bank tanah mempunyai misi untuk penyediaan lahan guna pembangunan perumahan. Bank tanah Kolombia menerapkan pembelian lahan di daerah pinggiran kota untuk kemudian dijadikan kawasan perumahan terjangkau. Dalam pendistribusian tanah, bank tanah Kolombia membaginya untuk kepentingan komersial, perumahan dan kelembagaan.
Filipina menyelenggarakan bank tanah untuk mendukung kegiatan di sektor pertanian. Dalam perkembangannya, Land Bank of the Philippines bertumbuh menjadi bank komersial namun tetap menjalankan mandat sosial negara. Hal serupa juga dijalankan oleh Land Bank of Taiwan. Proses pengadaan tanah merupakan suatu tantangan tersendiri bagi bank tanah.
4. Mekanisme Bank Tanah
Menurut Dr. Ir. Soedjarwo Soeromihardjo sebagaimana dikutip dalam Jurnal Cut Lina Mutia – Bank Tanah : Antara Cita-cita dan Utopia (2004), dijelaskan beberapa mekanisme bank tanah di beberapa negara;
- Negara Jepang menentukan suatu kebijakan bahwa orang yang membeli tanah dan kemudian menjual kembali tanah itu dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak tanah dibeli, maka dikategorikan sebagai kegiatan spekulasi tanah sehingga dikenakan pajak yang sangat tinggi.
- Guatemala menerapkan cara dengan memberikan keringanan pajak kepada setiap pemilik tanah yang menjual tanahnya kepada negara, sedangkan bila tidak menjual kepada negara maka akan dikenakan pajak yang tinggi.
- Belanda menjalankan peraturan bahwa masyarakat pemilik tanah yang tidak memanfaatkannya dalam kurun waktu tertentu, tanahnya diambil oleh negara dengan memberikan ganti rugi.
Dengan ketentuan dan peraturan di beberapa negara tersebut, terbukti Swiss dan Belanda sebagai negara yang wilayahnya kecil berhasil membangun bank tanah untuk pembangunan bagi rakyat. Memperhatikan kondisi Indonesia saat ini, pertama-tama pemerintah perlu fokus pada kebijakan penyediaan lahan untuk infrastruktur dan perumahan rakyat.
Sejalan dengan program pemerintah mengenai pembangunan infrastruktur dan penyediaan perumahan terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah. Sebab itu sangat penting dibangun sebuah metode One Map Policy dalam pengelolaan tanah yang disesuaikan dengan rencana jangka panjang pemerintah sehingga dapat ditetapkan zonasi pemanfaatan lahan demi pemerataan pembangunan.
Kegiatan pengadaan, perlu dibagi menjadi tiga kategori.
- Inventarisasi dan penguasaan kembali secara penuh tanah yang dikuasai negara meliputi tanah bekas HGU, tanah terlantar, tanah fasos/fasum yang diserahkan developer, tanah aset BPPN, tanah aset BUMN/BUMD yang belum digunakan, aset idle pada Kementerian/Lembaga/Pemda, tanah negara dari pencabutan hak dan tanah negara yang berasal dari pembebasan tanah.
- Pembelian tanah yang mendesak, harus dilaksanakan segera/saat itu juga untuk digunakan dalam pelaksanaan pembangunan yang sudah direncanakan. Dalam pengadaan tanah ini, Indonesia dapat mengadopsi skema yang diterapkan di Guatemala, dimana pihak/perorangan yang tidak bersedia menjual tanahnya kepada negara untuk kepentingan umum akan dikenakan pajak yang sangat tinggi.
3.Pengadaan tanah untuk dicadangkan (invesment). Sebagai bank tanah, tentunya perlu memiliki cadangan tanah yang cukup dan harus selaras dengan rencana pembangunan jangka panjang pemerintah.
Untuk menjalankan pengadaan dengan tujuan pencadangan, Indonesia dapat menerapkan metode yang juga diterapkan di Belanda dan Jepang.
Guna mendorong peningkatan pendapatan pajak, Indonesia dapat memberlakukan kebijakan bahwa setiap pihak yang membeli tanah dan menjualnya kembali dalam kurun waktu tertentu/singkat (kurang dari 10 tahun) maka akan dikenakan pajak sangat tinggi. Dalam rangka mendorong optimalisasi pemanfaatan tanah oleh semua pihak, maka dapat diberlakukan peraturan bahwa tanah yang tidak dimanfaatkan dalam kurun waktu tertentu akan diambil negara dengan ganti rugi, jika pihak/orang tersebut tidak setuju, maka diberlakukan aturan pertama mengenai pengenaan pajak sangat tinggi terhadap tanah.
Dengan mekanisme ini, diharapkan tanah yang berada di seluruh Indonesia dapat dioptimalkan untuk lahan produktif ataupun dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat sehingga menekan gerak spekulan tanah. Berdasarkan beberapa kasus yang terjadi, banyak tanah negara yang diduduki oleh warga tanpa ijin dan hal itu berlangsung bertahun-tahun.
Hal ini mengindikasikan adanya proses pengamanan dan pemeliharaan yang perlu diperbaiki. Disamping itu, untuk menjaga ketersediaan tanah bagi kepentingan bersama maupun pembangunan, Pemerintah seyogyanya turut aktif mengendalikan pergerakan pembangunan properti oleh pihak swasta. Untuk menjaga ketersediaan tanah bagi kepentingan bersama maupun pembangunan, pemerintah seyogyanya turut aktif mengendalikan pergerakan pembangunan properti oleh pihak swasta. Dan diharapkan bisa lebih tegas lagi dan diselaraskan dengan kebijakan One Map Policy.
Sementara di sisi lain, perkembangan teknologi mengharuskan Indonesia menerapkan teknologi terkini dalam pengelolaan tanah ini. Indonesia dapat mencontoh pada Philadelphia Land Bank, dan Amerika Serikat yang telah berhasil mengelola dan mengembangkan lahan sesuai tujuan strategis jangka panjang dengan memanfaatkan Geographic Information System (GIS) yang diintegrasikan dengan sistem pengambilan keputusan yang mereka kembangkan. GIS dimaksud merupakan sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi bereferensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database (wikipedia.org). Sistem ini tentunya dapat diaplikasikan dalam penerapan One Map Policy.
Dan jika “Bank Tanah” di Indonesia merupakan suatu keharusan yang bisa dikatakan mendesak. Tentunya pemerintah harus berkoordinasi dengan seluruh pihak terkait, mulai Kementerian dan Lembaga terkait hingga instansi swasta yang berkepentingan untuk dapat membangun One Map Policy yang tepat. Dengan kebijakan One Map Policy ini diharapkan pengelolaan aset lebih terencana dan dapat optimal bagi kepentingan umum.
Bank tanah inilah yang diharapkan menjadi salah satu solusi masalah dan konflik tanah akibat bertambahnya jumlah penduduk, kemajuan pembangunan, pergeseran nilai tanah, tingkat kesadaran hukum masyarakat, ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah yang mendorong konflik. Pembentukan bank tanah dimaksud yang termasuk dalam klaster pengadaan lahan di UU Omnibus Law Cipta Kerja. Di undang-undang ini disebut bahwa tujuan utamanya adalah untuk mempermudah pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan, ekonomi, reforma agraria, dan lainnya. Tak hanya itu, klaster ini juga mengatur mengenai pengadaan tanah, kepemilikan saham dan lahan, pelepasan tanah, hingga pemberian jangka waktu Hak Guna Lahan dan Hak Guna Usaha.
Untuk memahami lebih jauh terkait ketentuan mengenai bank tanah ini maka seluruh pembaca materi “Bank Tanah” yang saya sampaikan ini, bisa kaji bersama-sama sebagaimana tertuang dalam 10 Pasal UU Cipta Kerja yakni, Pasal 125 hingga 135. Pasal 125 memuat penjelasan beserta fungsi yang akan dijalankan oleh bank tanah. Lalu, Pasal 126 menjelaskan sifat bank tanah yang menjamin ketersediaan tanah untuk masyarakat. Kemudian, Pasal 127 menyebutkan bahwa badan bank tanah akan melaksanakan tugas dan wewenang yang bersifat transparan, akuntabel, dan non profit. Pasal 128-129 memuat ketentuan sumber kekaayaan badan bank tanah, pengelolaan hak atas tanah, serta organisasi badan bank tanah.
Sementara Pasal 130-135 memuat penjelasan dari masing-masing organisasi pada badan bank tanah. Berikut ini isi Pasal 125-135 dalam UU Cipta Kerja tentang Bank Tanah:
Pasal 125
(1) Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah,
(2) Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan khusus yang mengelola tanah,
(3) Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan,
(4) Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
Pasal 126
(1) Badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk:
- kepentingan umum;
- kepentingan sosial;
- kepentingan pembangunan nasional;
- pemerataan ekonomi;
- konsolidasi lahan; dan
- reforma agraria
(2) Ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari tanah negara yang diperuntukkan untuk bank tanah.
Pasal 127,
Badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat transparan, akuntabel, dan non profit.
Pasal 128 Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari:
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
- Pendapatan sendiri;
- Penyertaan modal negara; dan
- sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 129
(1) Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan.
(2) Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
(3) Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
(4) Dalam rangka mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberikan kewenangan untuk:
- melakukan penyusunan rencana induk;
- membantu memberikan kemudahan Perizinan Berusaha/persetujuan;
- melakukan pengadaan tanah; dan
- menentukan tarif pelayanan.
(5) Penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Baca juga: Bank Tanah Diharapkan Dapat Tekan Laju Inflasi pada Pasal 130 dan Badan bank tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 terdiri atas:
- Komite;
- Dewan Pengawas; dan
- Badan Pelaksana.
Pasal 131
(1) Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 huruf a diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan beranggotakan para menteri dan kepala yang terkait.
(2) Ketua dan anggota Komite ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan.
Pasal 132
(1) Dewan Pengawas berjumlah paling banyak 7 (tujuh) orang terdiri dari 4 (empat) orang unsur profesional dan 3 (tiga) orang yang dipilih oleh Pemerintah Pusat.
(2) Terhadap calon unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan proses seleksi oleh Pemerintah Pusat yang selanjutnya disampaikan ke DPR untuk dipilih dan disetujui.
(3) Calon unsur profesional yang diajukan ke DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit 2 (dua) kali jumlah yang dibutuhkan.
Pasal 133
(1) Badan Pelaksana terdiri dari Kepala dan Deputi.
(2) Jumlah Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Komite. (3) Kepala dan Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Komite.
(4) Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diusulkan oleh Dewan Pengawas.
Pasal 134
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 135 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan badan bank tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Catatan, Saran dan Kritik
Setelah melihat berbagai konsep dan tujuan “Bank Tanah “ di berbagai belahan dunia, maka penulis memberikan “Catatan dan Saran” terhadap omnibus law UU Cipta Kerja khsususnya terkait Klaster Pertanahan tentang “Bank Tanah” antara lain :
- Bank tanah untuk perumahan ada baiknya berada di bawah badan perumahan dan tidak digabung dengan dewan pengawas bank tanah. Badan perumahan ini nantinya akan berada di bawah presiden, mengingat karakteristik perumahan yang lintas kementerian, mulai dari Kementerian PUPR, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian ATR/BPN, sampai Kementerian Sosial.
- Bank tanah untuk hunian nantinya tidak hanya dari tanah negara yang sudah ada, tidak juga harus melalui pembelian lahan. Perlu diperdayakan tanah-tanah BUMN/BUMD untuk sebagian disiapkan sebagai bank tanah, termasuk tanah-tanah yang menjadi kewajiban pengembang swasta melalui hunian berimbang.
- Penulis berpandangan tidak semua tanah untuk penyediaan hunian nantinya harus dengan hak pengelolaan. Hak pengelolaan menjadi bermanfaat karena pemerintah dapat leluasa mengatur dengan baik penggunaan tanahnya agar terhindar dari spekulasi lahan. Namun perlu penegasan lebih lanjut karena dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 tak ada aturan mengena pihak pengelolaan (HPL).
- Konsep bank tanah ini harus didorong agar masyarakat dapat memperoleh hunian yang layak dengan pengendalian harga tanah yang harusnya dapat dilakukan dengan bank tanah..
Kritik :
- UU Cipta Kerja mendorong liberalisasi sumber-sumber agraria di Indonesia, karena tanah menjadi barang komoditas, yang bebas ditransaksikan bagi para pemilik modal dan badan usaha raksasa. Sederhananya, obral tanah dan kekayaan alam negeri menjadi watak UU ini. Dengan orientasi semacam ini, tidak dapat dibayangkan seperti bumi nusantara ini kedepannya.
- UU Cipta Kerja ini menjauhkan rakyat dari cita-cita reforma agraria. Karena semangatnya bukan untuk memperbaiki ketimpangan struktur agraria. Justru akan memperparahnya.
Pertanyaannnya, mengapa soal pertanahan dan pengadaan lahan masuk ke dalam UU ini, berasal dari argumentasi yang dibangun Menteri ATR/BPN soal keluhan badan usaha (investor) kesulitan memperoleh tanah di Indonesia. Lewat argumen “norma baru” menjadi jalan agar RUU Pertanahan yang gagal disahkan pada September 2019 karena mengandung sejumlah masalah prinsipil, bisa diseludupkan (copy-paste) ke dalam UU Cipta Kerja. UU ini secara “malu-malu” bermaksud menggantikan prinsip-prinsip UUPA.
- Paradigma domein verklaring atau azas “negaraisasi tanah” di masa pemerintahan kolonial yang telah dihapus UUPA, justru dihidupkan lagi oleh UU Cipta Kerja. Caranya dengan menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah melalui rumusan-rumusan bermasalah Hak Pengelolaan (HPL) dalam UU ini. Seolah Negara adalah pemilik tanah. Ini bentuk pelanggaran lain terhadap Konstitusi. Dari HPL, UU memfasilitasi penerbitan ragam jenis hak, salah satunya hak guna usaha (HGU) yang banyak menimbulkan konflik agraria struktural di berbagai daerah. Celakanya, proses perpanjangan dan pembaruan HGU dapat dilakukan sekaligus.
- Berlakunya kembali azas domein verklaring, maka setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat otomatis menjadi tanah negara. Padahal, sistem administrasi dan pendaftaran atas tanah belum dijalankan secara berkeadilan sejak UUPA diberlakukan. Alhasil, perampasan dan penggusuran petani atas nama penertiban tanah negara dan kebutuhan tanah untuk proyek pembangunan akan semakin meluas.
- Penyesatan publik tentang reforma agraria telah disampaikan Pemerintah dan DPR. Mengklaim bahwa pembentukan Bank Tanah (BT) penting bagi pelaksanaan reforma agraria, dengan memasukan reforma agraria sebagai tujuan pembentukan Bank Tanah. Pada hal sesungguhnya, Reforma agraria adalah operasi koreksi Negara terhadap ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria.
REFERENSI
- Komnas Ham RI
- Website resmi Kemenkeu
- Undang-undang Cipta Kerja Klaster Pertanahan tentang Bank Tanah
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
- Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA)
Materi in di sampaikan oleh pada acara “Penutupan Peringatan HUT IPPAT Ke 33 di Gedung MPR – DPR RI, Jakarta
Penulis adalah Dosen Notariat Universitas Warmadewa, Bali
Ketua Bidang Perundang-undangan PP IPPAT
Koordinator Anggota Dewa Pakar PP INI