Arbitrase merupakan alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan asas win-win solution, karena adanya anggapan penyelesaian melalui jalur pengadilan memerlukan proses yang panjang dan putusannya berakibat ada yang menang dan kalah. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menegaskan, perjanjian yang memuat klausula arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa maka pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang memuat klausula arbitrase tersebut.
Dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, setiap sengketa perdata yang diajukan kepada pengadilan wajib menempuh upaya perdamaian dengan cara mediasi sebelum perkara pokoknya diperiksa, kecuali yang ditentukan lain dalam pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yaitu sengketa pada pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan putusan Komisi Persaingan Usaha.
Pada hakekatnya arbitrase dan mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 adalah sama yaitu menyelesaikan sengketa dengan damai. Secara umum, perjanjian arbitrase mempunyai karakteristik sebagai bukan perjanjian “bersyarat”. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada suatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian ini tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan “perselisihan” atau “sengketa” yang terjadi antara pihak yang berjanji.
Di samping itu, perjanjian arbitrase ini hakekatnya merupakan perjanjian tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya. Tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berdiri sendiri dengan sempurna. Sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok, para pihak tidak mungkin mengadakan ikatan perjanjian arbitrase. Ini berarti perjanjian pokok menjadi dasar lahirnya klausul arbitrase. Pelaksanaan perjanjian pokok tidak bergantung pada perjanjian arbitrase.
Sebaliknya, pelaksanaan perjanjian arbitrase bergantung pada perjanjian pokoknya, jika perjanjian pokok yang tidak sah, maka dengan sendirinya perjanjian arbitrase batal dan tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini harus secara tegas dicantumkan dalam PPJB dan klausul arbitrase harus dibuat secara tertulis ,dengan ada suatu perjanjian klausul arbitrase dalam PPJB berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri.
Pasal 3 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 dengan tegas menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri. Untuk itu, disarankan, demi menciptakan kepastian hukum para pihak maka dengan tegas dan jelas untuk memastikannya bahwa hanya BANI satu-satunya yang menjadi pilihan forum dalam penyelesaian sengketa antara mereka tanpa ada mencantumkan atau melibatkan pengadilan negeri dalam klausul.
Ada dua teori mengenai kekuatan berlakunya perjanjian arbitrase. Teori pertama, menyatakan perjanjian arbitrase bukan public policy. Dalam hal ini ditegaskan, sungguhpun ada klausul arbitrase, tetapi pengadilan tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena klausula arbitrase bukanlah open baar orde (Klausul arbitrase terkait dengan bukan ketertiban umum).
Kedua, teori yang menekankan asas “Pacta Sunt Servanda” dimana pada klausul atau perjanjian arbitrase. Teori ini mengajarkan bahwa klausual atau perjanjian arbitrase mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para pihak yang tegas untuk itu. Kompetensi absolut arbitrase untuk menyelesaikan suatu perkara bergantung pula pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak.
Selain itu, ada dua bentuk perjanjian arbitrase, yakni factum de compromitendo dan akta kompromis. Di dalam factum de compromitendo ini dijumpai dalam Pasal 7 Undang-undang arbitrase, yang menyatakan bahwa para pihak membuat kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Perjanjian ini melekat pada suatu perjanjian yang dibuat para pihak, seperti di dalam PPJB yang dibuat antara developer dengan konsumen.
Oleh karenanya perjanjian ini merupakan bagian dari suatu perjanjian tertentu, maka perjanjian ini disebut sebagai klausula arbitrase. Pada saat para pihak mengikatkan diri pada PPJB yang di buat dihadapan Notaris dan menyetujui klausula arbitrase sama sekali belum terjadi sengketa atau perselisihan. Klausul arbitrase ini dimaksudkan dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul pada yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi perselisihan para pihak telah bersepakat dan mengikatkan diri melalui PPJB untuk menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase.
Namun harus dipahami, bahwa Klausul arbitrase ini tidak hapus atau berakhir dengan hapus atau berakhirnya perjanjian pokok. Bentuk perjanjian yang kedua adalah akta kompromis, Akta kompromis ini dibuat setelah timbul perselisihan antara para pihak. Setelah para pihak mengadakan perjanjian, dan perjanjian sudah berjalan, kemudian timbul perselisihan. Sedang sebelumnya, baik dalam perjanjian ataupun akta tersendiri, tidak diadakan perjanjian atau klausul arbitrase.
Dalam PPJB yang dibuat antara developer dengan konsumen, misalkan: apabila para pihak menghendaki agar perselisihan diselesaikan melalui forum arbitrase atau ada klausul yang tidak lengkap ataupun tidak cermat. Maka mereka dapat membuat perjanjian atau klausul itu dikemudian hari (setelah timbulnya sengketa). Dengan demikian, akta kompromis merupakan kebalikan dari factum de compromitendo.
Sedangkan, pada factum de compromitendo, perjanjian penyelesaian perselisihan melalui arbitrase telah disepakati sejak semula sebelum perselisihan terjadi. Sedangkan, pada akta kompromis, perjanjian penyelesaian perselisihan melalui arbitrase atau ada klausul yang tidak lengkap maupun tidak cermat baru diikat dan disepakati setelah terjadi perselisihan
Dan meski di cermati pula, dari contoh klausul arbitrase yang tidak jelas dan klausul arbitrase yang ambigu maka bisa dipastikan akan menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, sehingga memperpanjang proses penyelesaiannya. Dalam penyelesaian sengketa di bidang perdagangan melalui arbitrase, tidak selalu dapat diwujudkan secara cepat, mudah, dan murah sebagaimana diharapkan.
Berbagai kendala biasanya muncul berkaitan dengan klausul arbitrase yang tidak jelas atau komprehensif yang tercantum dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Suatu klausul arbitrase yang secara tidak lengkap tanpa menentukan badan arbitrase mana yang diberi wewenang dalam pelaksanaannya memerlukan penafsiran tentang badan arbitrase.
Klausul yang tidak jelas antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut :
- Apakah akan diselesaikan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau arbitrase Ad-hoc.
- Belum menunjuk arbitor yang akan duduk dalam arbitrase.
- Belum menentukan secara tegas bagaimana tata cara penunjukan arbitor. Klausul arbitrase yang dirumuskan secara tidak terinci akan mendatangkan berbagai hambatan dalam proses arbitrase, apalagi perumusan dibuat secara tidak cermat ditambah dengan tidak didukungnya itikad baik dari para pihak sehingga klausul arbitrase yang tidak cermat ini dapat dimanfaatkan oleh salah satu pihak untuk mempersulit proses terselenggaranya arbitrase.
Demikian pula klausul arbitrase yang mengandung kemenduaan (ambiguity) dalam praktek tentunya akan membingungkan, persoalannya jika satu pihak memilih forum arbitrase, sedangkan pihak yang lain berkehendak menyelesaikan sengketa melalui lembaga peradilan sebagai lembaga yang berwenang mengadili, akibatnya memerlukan waktu yang relatif lama, karena persoalan kewenangan akan diputus terlebih dahulu melalui lembaga peradilan.
Dalam ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa “ Jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran”. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun kontrak yang dibuat para pihak hendaknya jelas isinya sehingga memberikan kepastian hal ini yang dalam hal ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin kejelasan makna.
Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karenanya, kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak diperlukan tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut.
Pencantuman Klausula Abitrase Dalam Akta Notaris Yang Konstitutif
Pencantuman klausula abitrase dalam akta Notaris yang konstitutif adalah suatu perjanjian yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Dan akta Notaris yang konstitutif bahwa ada perbuatan lahir berdasarkan akta Notaris. Artinya keberadaan akta Notaris menjadi syarat lahirnya atau adanya sebuah tindakan hukum dari para penghadap atau tanpa adanya akta Notaris perbuatan para penghadap tidak
Akta Notaris yang konstitutif yaitu substansi akatanya berisi membuat hubungan hokum baru atau meniadakan hubungan hukum yang melahirkan hubungan hukum baru. Artinya, yang sebelumnya tidak ada hubungan hokum apapun dengan dibuatnya akta di hadapan Notaris oleh dua belah pihak atau lebih. Maka, terjadilah suatu hubungan hukum. Misalkan, pemberian kuasa akta Notaris sepert5ti ini termasuk kedalam perjanjian , karena dilkaukan minimal dua pihak.
Daya ikat secara hukum, akta Notaris yang konstitutif tergantung kepada keinginan para pihak sendiri untuk melaksanakan substansi akta tersebut.
Selanjutnya, untuk mencegah diterapkannya prosedur litigasi dan untuk menghindari kemungkinan hal yang tidak menyenangkan di kemudian hari bilamana arbitrase dilangsungkan, para pihak harus menyusun klausul-klausul arbitrase dengan cermat. Adapun yang harus dimuat dalam klausul arbitrase meliputi komitmen atau kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase; tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase; pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase, komposisi arbiter, putusan akhir final dan mengikat, serta biaya arbitrase.
Klausul arbitrase yang konstruktif sesungguhnya sangat diperlukan agar instrumen penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak melalui arbitrase dan tidak melalui jalur pengadilan tidak sia-sia dilakukan. Artinya, pilihan tersebut dapat diterapkan secara efektif. Dengan disepakatinya suatu perjanjian yang di dalamnya memuat klausul penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase maka dapat dipastikan bahwa hanya lembaga arbitrase yang berwenang menyelesaikan perkara tersebut, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase terdapat beberapa faktor yang menghambat penyelesaian sengketa tersebut diantaranya yaitu faktor undang-undang arbitrase itu sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat serta faktor kebudayaan.
Selain itu terhadap perjanjian yang memuat klausul arbitrase dalam penyelesaian sengketanya maka apabila salah satu pihak melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri maka Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase tersebut.
Penunjukkan peran arbitrase ini tak lain dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan mengikat yang artinya tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Dan pada kenyataannya, hal tersebut di atas tidak mudah pula diterapkan dalam praktek. Kekuatan keputusan Badan Arbitrase, dalam prakteknya ternyata masih memungkinkan untuk dibatalkan oleh Pengadilan.
Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan “Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan atas putusan Badan Arbitrase, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur tentang persetujuan bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang kepada Badan Arbitrase untuk menyelesaikan persengketaan mereka. Sementara Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur tentang sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 juga mengatur tentang sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Jika hasil dari pemeriksaan ternyata, putusan arbitrase melanggar ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka putusan arbitrase juga dapat dibatalkan. Maka, terkait dengan pembatalan putusan arbitrase tersebut, selain merupakan kewenangan pengadilan tatkala memeriksa putusan arbitrase tersebut, pihak yang dirugikan atas putusan arbitrase tersebut juga dapat meminta putusan arbitrase untuk dibatalkan.
Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
- surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
- setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
Dengan diberikannya kewenangan Hakim untuk menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase maka masih dimungkinkan terhadap sengketa tersebut menemui kejelasan dalam penyelesaian perkaranya, bahkan di dalam penjelasan Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.
Penjelasan ini sedikit memberikan gambaran bahwa akibat dari pembatalan putusan arbitrase maka sengketa para pihak masih dapat diselesaikan dan diperiksa kembali melalui jalur arbitrase dengan menunjuk arbiter yang baru atau tetap menggunakan arbiter yang lama atau bahkan menyelesaikan sengketa melalui jalur alternatif lain.
Akan tetapi penjelasan mengenai akibat dari pembatalan putusan arbitrase tersebut tidak ditemui terhadap akibat dari putusan arbitrase yang oleh putusan Mahkamah Agung dinyatakan tidak dapat dilaksanakan. Ketentuan mengenai tidak dapat dilaksanakannya putusan arbitrase hanya diatur di dalam Pasal 61 dan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Kesimpulan:
Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.
Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.
Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaan nya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.
Materi ini, di sampaikan pada Munas Forum Kerjasama Program Studi Magister Kenotariatan Perguruan Tinggi Swasta (FK PS MKn PTS) se-Indonesia, Program Studi Magister Kenotaraiatan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Bali.
Penulis adalah Dosen Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Bali.