• About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
Notary Magazine
Advertisement
  • Home
  • About Us
  • Research Gate
    • All
    • Land
    Peluang dan Tantangan Investasi Sektor Pariwisata Di Era New Normal

    HPL PADA DASARNYA BUKAN MERUPAKAN  MERUPAKAN HAK ATAS TANAH

    JERAT HUKUM PPH ATAS TANAH BANGUNAN DI LINGKUNGAN PROFESI PPAT

    JERAT HUKUM PPH ATAS TANAH BANGUNAN DI LINGKUNGAN PROFESI PPAT

    BABAK BARU SETELAH PUTUSAN BEBAS MURNI SANG NOTARIS ADALAH KASASI

    BABAK BARU SETELAH PUTUSAN BEBAS MURNI SANG NOTARIS ADALAH KASASI

    Terbang Bersama Prabu Capung Mas Mengangkat Budaya Nusantara

    Sistematika Pembuatan Perjanjian Notariil dan Pertanahan

    MENGGUGAT NOTARIS (2)

    Meraba tujuan dan Fungsi Bank Tanah

    Eksistensi MP3 PPAT Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jabatan Secara Profesional

    Eksistensi MP3 PPAT Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jabatan Secara Profesional

  • Property
  • Notary Asks
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Research Gate
    • All
    • Land
    Peluang dan Tantangan Investasi Sektor Pariwisata Di Era New Normal

    HPL PADA DASARNYA BUKAN MERUPAKAN  MERUPAKAN HAK ATAS TANAH

    JERAT HUKUM PPH ATAS TANAH BANGUNAN DI LINGKUNGAN PROFESI PPAT

    JERAT HUKUM PPH ATAS TANAH BANGUNAN DI LINGKUNGAN PROFESI PPAT

    BABAK BARU SETELAH PUTUSAN BEBAS MURNI SANG NOTARIS ADALAH KASASI

    BABAK BARU SETELAH PUTUSAN BEBAS MURNI SANG NOTARIS ADALAH KASASI

    Terbang Bersama Prabu Capung Mas Mengangkat Budaya Nusantara

    Sistematika Pembuatan Perjanjian Notariil dan Pertanahan

    MENGGUGAT NOTARIS (2)

    Meraba tujuan dan Fungsi Bank Tanah

    Eksistensi MP3 PPAT Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jabatan Secara Profesional

    Eksistensi MP3 PPAT Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jabatan Secara Profesional

  • Property
  • Notary Asks
No Result
View All Result
Notary Magazine
No Result
View All Result
Home Research Gate

Sistematika Pembuatan Perjanjian Notariil dan Pertanahan

oleh : Dr. I. Made Pria Dharsana. SH. M. Hum

Redaksi by Redaksi
November 22, 2020
in Research Gate
0
0
SHARES
437
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Syarat Sahnya Perjanjian, salah satu asumsi yang berkembang di masyarakat terkait pembuatan perjanjian adalah perjanjian harus dibuat dan atau dibuatkan dalam bentuk akta notaris agar perjanjian tersebut sah secara hukum. Asumsi tersebut tidaksepenuhnya benar. Suatu perjanjian tetap sah berlaku meski tidak dibuat di hadapan notaris. Hal ini merujuk pada ketentuan pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menjelaskan syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut:

  1. Ada kesepakatan dari para pihak;
  2. Para pihak yang terikat cakap secara hukum;
  3. Tentang suatu hal tertentu;
  4. Menyangkut sebab yang tidak dilarang

Lantas muncul pertanyaan, apakah setiap perjanjian harus dibuat dihadapan Notaris?
Perlu dipahami bahwa, perjanjian yang dibuat dan ditandatangani tanpa melibatkan Notaris di sebut sebagai Perjanjian Di Bawah Tangan. sementara perjanjian yang dibuat dan ditandatangani dihadapan Notaris di sebut sebagi Perjanjian Notaris

Wewenang Notaris dalam Pembuatan Perjanjian

Dalam menjalankan profesinya, notaris memiliki wewenang yang disebutkan pada Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, antara lain wewenang dalam pembuatan akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

 

Terdapat Dua Golongan Akta Notaris, yaitu:

  1. Akta yang dibuat oleh notaris (akta relaas atau akta pejabat)
  • Akta ini disebut akta berita acara, yaitu akta yang dibuat oleh notaris dan memuat uraian secara otentik dari notaris mengenai suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Misalnya akta berita acara/risalah rapat RUPS suatu perseroan terbatas.
  1. Akta yang dibuat di hadapan notaris/akta pihak (akta partij)
  • Akta ini dibuat di hadapan notaris dan memuat uraian dari apa yang diterangkan atau diceritakan oleh para pihak yang menghadap kepada notaris, misalnya perjanjian kredit, dan sebagainya.

 Perjanjian yang Perlu Dibuat dalam Bentuk Akta Notaris

  • Pasal 15 UU Jabatan Notaris telah menyebutkan bahwa notaris memiliki wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.

* Lalu perjanjian seperti apa yang perlu dibuat dalam bentuk akta notaris?

  1. Akta pendirian suatu badan usaha dan badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), Commanditaire Venootschap (CV), dan Firma
  1. Akta Hibah
  2. Akta Pengalihan Saham
  3. Akta Risalah Lelang.

 Kekuatan Pembuktian Perjanjian Notaris di Pengadilan

  • Dalam hukum acara perdata di Indonesia, surat termasuk perjanjian merupakan salah satu alat bukti yang diakui dalam persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 164 Herzien Indlansch Reglement (HIR). Namun, perjanjian tersebut ada yang tidak dibuat di bawah tangan tanpa melibatkan notaris dan perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta notaris. Perbedaan perjanjian notaris dan perjanjian bawah tangan terletak pada kekuatan pembuktian perjanjian di hadapan pengadilan apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Dalam Pasal 165 HIR ditegaskan bahwa akta yang dibuat oleh pegawai umum yang memiliki kuasa untuk membuatnya, yakni notaris merupakan bukti yang cukup

Perjanjian yang Dibuat Dihadapan Notaris Memiliki Tingkat Pembuktian yang Sempurna, artinya:

Perjanjian tidak dapat disangkal keberadaannya, karena telah dibuat oleh Notaris.

  • Tidak dapat disangkal isinya, karena Notaris telah memastikan bahwa para pihak dalam perjanjian telah memahami isi dari perjanjian dengan cara membacakannya di hadapan para pihak dan memastikan bahwa tanda tangan tersebut sesuai dengan aslinya.
  • Sehingga, perjanjian notaris yang diajukan sebagai alat bukti di pengadilan tidak dapat disangkal oleh para pihak dan menjadi alat bukti surat yang paling kuat jika dibandingkan dengan surat lainnya.

Bagimana suatu Perjanjian Notariil diajukan sebagai alat bukti di pengadilan?

  • Apabila suatu Perjanjian Notariil diajukan sebagai alat bukti di pengadilan, maka perjanjian tersebut menjadi alat bukti yang tidak dapat disangkal oleh para pihak.  Hakim pun harus mempercayai alat bukti tersebut sah. Pengecualian dalam hal ini adalah, apabila pihak lawan atau terdapat bukti lain yang menyatakan sebaliknya. Lalu, bagaimana status pembuktian untuk Perjanjian Bawah Tangan? Perjanjian Bawah Tangan juga dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya …………….. bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik….”.

Lalu, bagaimana status pembuktian untuk Perjanjian Di Bawah Tangan?

  • Perjanjian Bawah Tangan juga dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya …………….. bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik….”.
  • Hal tersebut bermakna, Perjanjian Bawah Tangan hanya dapat menjadi bukti yang sempurna hanya apabila “diakui oleh para pihak” dalam perjanjian.
  • Apabila salah satu pihak menyangkal keberadaan Perjanjian Bawah Tangan tersebut, maka hakim diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran perjanjian tersebut di muka pengadilan (1877 KUHperdata) dan mengajukan bukti-bukti pendukung lainnya.

Kesimpulannya :

  • Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak semua jenis perjanjian harus dibuat dalam bentuk akta notaris dan perjanjian tersebut tetap sah selama memenuhi syarat sah perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
  • Namun, jika perjanjian dibuat dihadapan notaris atau dibuat dalam bentuk akta notaris, maka perjanjian tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang lebih sempurna dibandingkan dengan perjanjian yang tidak dibuat dihadapan notaris. Dengan memahami hal tersebut, Anda akan lebih mudah menentukan kapan notaris dibutuhkan dan kapan Anda dapat membuat perjanjian di bawah tangan yang tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian.
  • Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian tidak harus dibuat di hadapan notaris (kecuali apabila berdasarkan ketentuan undang-undang perjanjian tersebut wajib dibuat di hadapan Notaris).
  • Adapun pertimbangan untuk melibatkan notaris dalam pembuatan perjanjian adalah untuk memperkecil risiko di kemudian hari apabila terdapat sengketa terkait dan/atau melibatkan perjanjian tersebut.

 

Selanjutnya, Persepektif Hukum Perjanjian di Bidang Pertanahan

  • Sebagai makhluk sosial, masyarakat akan memunculkan sifat saling ketergantungan satu sama lain. Wujud saling ketergantungan ini adalah dengan adanya hubungan hukum hukum masyarakat yang terwujud dalam suatu peristiwa-peristiwa hukum seperti perkawinan, kerjasama bisnis, jual beli sampai dengan urusan perniagaan lainnya.
  • Salah satu peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah lazim digunakan oleh masyarakat untuk dapat digunakan sebagai komitmen awal atau sebagai “pengikat sementara”, agar kedepannya transaksi jual beli tanah tersebut akan berjalan dengan lancar. Konteks mengenai kedudukan hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas tanah telah banyak diulas dalam berbagai penelitian, khususnya yang membahas mengenai eksistensi Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam sudut pandang syarat sahnya Perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
  • Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat suatu perjanjian dibedakan menjadi beberapa hal antara lain : kecakapan (usia, kejiwaan,dll), kesepakatan para pihak, harus ada objek yang telah ditentukan, serta causa yang halal atau tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku;

 FENOMENA PPJB

Fenomena PPJB Notaris yang sering terjadi di masyarakat secara sekilas merupakan ekses dari keberlakukan Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Di dalam Pasal 15 undang-undang ini jelas menunjukkan kewenangan dari notaris yang “hampir” tidak terbatas yakni “Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.

Kenapa dikatakan hampir tidak terbatas ? Oleh karena frasa mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang membuat kewenangan oleh Notaris dalam membuat akta oktentik memiliki ruang lingkup yang luas;

PPAT DALAM PRAKTEK JUAL BELI

  • PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998 Jo PP Nomor 24 Tahun 2016  sudah membatasi untuk wilayah jual beli dengan objek tanah sudah merupakan domain dari PPAT. Seharusnya jangankan membuat akta otentik yang bernuansa objek tanah, “mendekatinyapun” dalam bentuk pengikatan jual beli tanah, demi jaminan kepastian hukum pertanahan maka perbuatan Notaris membuat akta PPJB seharusnya juga dilarang.
  • Meski akta PPJB diatur dalam KUH Perdata sebagai Perjanjian Pendahuluan dan tidak melanggar syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun jangan lupa bahwa politik hukum Pertanahan kelahiran PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998 Jo PP Nomor 24 Tahun 2016  menegaskan pembangunan nasional memerlukan jaminan kepastian hukum atas pendaftaran dan peralihan hak atas tanah. manifestasi dari jaminan kepastian hukum ini adalah upaya maksimal mencegah terjadinya sengketa pertanahan.
  • Sehingga dengan mandat ini seharusnya pekerjaan Notaris di bidang pengikatan jual beli khususnya objek tanah harusnya dilarang oleh karena membuat sumir jaminan kepastian hukum pendaftaran dan peralihan pertanahan di Indonesia.
  • Hal ini terbukti dari masih banyaknya masyarakat awam yang keliru memandang kedudukan hukum PPJB yang menurut mereka adalah bukti jual beli tanah, termasuk banyaknya sengketa tanah yang bermula dari adanya PPJB cacat hukum.

Lantas dengan pengaturan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998 Jo PP Nomor 24 Tahun 2016 dapat menghapuskan kewenangan Notaris begitu saja dalam pembuatan akta otentik PPJB?

Tentu tidak, oleh karena berdasarkan kepada tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998 Jo PP Nomor 24 Tahun 2016 kedudukannya di bawah dibandingkan Undang-Undang tentang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Sehingga sejak awal kehadiran Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris ini, khususnya dalam Pasal 15 telah mereduksi jaminan kepastian hukum konteks Pertanahan di Indonesia.

KEDUDUKAN PPJB – HAT

  • Kedudukan PPJB-HAT hak atas tanah yang dibuat oleh notaris berdasarkan kewenangan yang dimiliki sebagaimana ketentuan pasal 15 ayat (2) huruf f Undang Undang Jabatan Notaris harus diakui sebagai perjanjian yang sah, karena kewenangan tersebut secara normatif telah diatur dalam hukum positif. Para pihak dalam PPJB-HAT harus dipandang sebagai para subyek yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah, dan belum melakukan jual-beli hak atas tanah.
  • Dengan kata lain, jual beli hak atas tanah belum terjadi. Namun demikian, bagaimana jika dalam PPJB-HAT tersebut dinyatakan bahwa bahwa harga telah dibayar lunas oleh calon pembeli dalam kaitannya dengan hukum adat yang bersifat tunai dengan bersandarkan pada ketentuan Pasal 5 UUPA ?

ANALISA KEDUDUKAN PPJB-HAT

Analisis mengenai kedudukan PPJB-HAT dalam perspektif hukum pertanahan dengan pendekatan Teori Positivisme, memberikan jawaban bahwa PPJB-HAT sesuai dengan Teori Positivisme, telah memiliki legitimasi berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang Undang Jabatan Notaris.  Akta yang berkaitan dengan Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN memiliki makna bersifat umum yang dapat berfungsi untuk mengisi kekosongan norma hukum yang bersifat khusus.

Bahkan lebih jauh, Hukum Adat sebagai sumber hukum yang diakui oleh Pasal 5 UUPA sebagai dasar hukum bagi pengaturan Agraria pada umumnya dan Pertanahan pada khususnya, secara teoritis dapat menerima keberadaan PPJB-HAT yang mengidentikan dengan uang panjar dalam hukum adat.  PPJB-HAT ini didekati dengan Teori Positivisme Sosiologis sebagaimana dikemukakan oleh Theo Huijbers, bahwa dalam positivisme sosiologis hukum diterima dan diteliti semata-mata sebagai suatu gejala sosial, maka seandainya PPJB-HAT tidak dilandasi oleh ketentua Pasal 15 ayat (2) huruf f pun, sesungguhnya secara sosiologis harus diterima sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai suatu gejala sosial.

Kedudukan PPJB-HAT jika didekati dengan Teori Utilitarianisme atau Utilisme diperolah jawaban bahwa PPJB-HAT merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai suatu gejala sosial dan lebih dapat memberikan kemanfaatan dari pada kemudharatannya. Kemanfaatan diartikan sebagai kebahagiaan (happiness) yang dalam praktik PPJB-HAT banyak dipilih oleh para pihak untuk melakukan pra-transaksi hak atas tanah.  Artinya, PPJB-HAT menjadi hukum yang baik karena mampu memberikan kebahagiaan kepada para pihak yang akan melakukan transaksi hak atas tanah

Demikian pula keberadaan Pasal 5 UUPA haruslah dikaitkan dengan Ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Kedua) yang menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Pengertian hak-hak tradisional dalam Pasal ini adalah pengertian tentang hukum tradisional, yaitu hukum Adat. Pengakuan atas eksistensi hukum Adat dalam Tata Hukum Nasional memerlukan proses untuk menjadi positif, dalam hal ini Pasal 5 UUPA, haruslah melalui pengaturannya dalam undang-undang. Hal demikian semula merupakan konsep Pasal 15 Algemene Berpalingen van Wetgeving pada zaman Hindia Belanda. Berdasarkan alur pikir demikian itu, maka hukum pertanahan yang dibangun berdasarkan hukum Adat harus dalam bentuk hukum positif berupa peraturan perundang-undangan.

Pada jual-beli tanah menurut van Vollenhoven: “de enkele (tot uiting gebrachte) wilsovereenstemming door partijen gedaan, nog geenszins een overeenkomst tot stand brengt, want om de adatrechtelijke binding te krijgen moet er nog iet, zichbaars (uiterlijk teken), aan te pas komen, de z.g. “pandjer” (bindsom) in de vorm van een geldstuk of een ander zichbaar teken, die van koper op de verkoper overgaat”.

Pertemuan kehendak saja yang oleh para pihak telah dinyatakan, belum sekali-kali telah melahirkan suatu persetujuan, untuk mendapat suatu kekuatan mengikat menurut hukum adat, haruslah masih menjadi sesuatu yang nyata/konkrit/terlihat, yaitu penyerahan dari apa yang disebut “panjer” (alat pengikat) dalam bentuk sedikit uang atau benda lain yang nyata/terlihat yang diserahkan kepada si (calon) penjual oleh si (calon) pembeli.

 

KITA (PPAT) dihadapkan pada suatu pilihan pendapat dimana para ahli saling berseberangan, setidaknya ada dua hal, yaitu:

  • Pertama, apakah hukum pertanahan bersifat konsensuil ataukan bersifat riil/kontan,
  • Kedua, apakah PPJB-HAT dengan pembayaran lunas atas harga yang diperjanjikan mengakibatkan peralihan hak atas tanah ataukah tidak. Terhadap hal yang pertama, maka penulis berpendapat, bahwa hukum pertanahan khususnya mengenai ketentuan Pasal 5 UUPA yang pada intinya menyatakan bahwa hukum yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, selanjutnya harus dimaknai sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Masyarakat yang bersifat dinamis bukan statis.

Hukum Adat tidak dapat dimaknai sebagai hukum yang diam dan tidak berkembang. Jika masyarakat adat dimaknai sebagai penduduk asli Indonesia atau orang Indonesia asli, maka praktik-praktik hukum yang berkembang dalam masyarakat sudah semestinya dimaknai sebagai perkembangan dari hukum adat itu sendiri.

Artinya apa ? PPJB merupakan salah satu bentuk perkembangan hukum adat, hukum yang hidup dalam praktik transaksi hak atas tanah dalam masyarakat Indonesia.

 

Perjanjian Formil

Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil (formal), tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian, atau cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian formil batal demi hukum. Pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh peraturan perundang-undangan juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum.

Formalitas tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik atau surat dibawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh Notaris atau pejabat umum lain yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik menurut peraturan perundangundangan

Pengaturan oleh peraturan perundangundangan mengenai formalitas tertentu untuk perjanjian formil tersebut merupakan pengecualian dari asas konsensualitas dalam hukum perjanjian yang berlaku secara umum. Sebab, menurut asas konsensualitas, suatu perjanjian sudah terjadi dengan adanya kesepakan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian agar perjanjian itu sah maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang harus dipatuhi dan dipenuhi. Dengan demikian, perjanjian formil tidak cukup bila hanya berdasarkan asas konsensualitas.

Peralihan Hak Atas  Tanah

Selanjutnya, terkait Peralihan Hak Atas Tanah, terdapat perbedaan pendapat dari dua ahli hukum pertanahan masing-masing Saleh Adiwinata dan Boedi Harsono mengenai saat terjadinya peralihan hak atas tanah. Saleh Adiwinata berpendapat bahwa saat terjadinya peralihan hak atas tanah pada saat dilakukan pendaftaran tanah, sedangkan Boedi Harsono berpendapat pada saat ditandatanganinya Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Tentu akan terdapat pertanyaan berikutnya, apakah saat peralihan hak atas tanah tidak terjadi seketika harga dibayar lunas oleh Pembeli dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang peralihan benda tidak bergerak, termasuk tanah dengan suatu penyerahan atau levering yang berbeda terhadap benda bergerak. Terhadap benda tidak bergerak, tanah misalnya, maka penyerahannya dengan suatu akta otentik.

Menurut Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaya, bahwa Penyerahan benda tidak bergerak menurut Pasal 616 Kitab Undang Undang Hukum Perdata harus dicatat dan didaftar dan selanjutnya dipublikasikan untuk umum, agar syarat untuk perolehan hak milik atas kebendaan tidak bergerak tersebut terpenuhi.  Sebelum pendaftaran dan publikasi dilakukan (yang merupakan bukti levering atau penyerahan yang disyaratkan dalam Pasal 584 KUH Perdata), maka orang yang berdasarkan peristiwa perdata yang telah ditentukan (misalnya pembeli dalam suatu jual beli belum merupakan pemilik dari benda tidak bergerak tersebut.

Selain itu pendaftaran juga merupakan bukti bahwa orang yang namanya terdaftar itulah yang merupakan pemilik dari benda tidak bergerak tersebut. Bahwa terhadap benda tidak bergerak, Hak Milik sebagai hak kebendaan yang paling dasar (dan karenanya juga hak-hak kebendaan yang melekat dan mengikuti Hak Milik) baru lahir pada saat hak tersebut didaftar dan diumumkan menurut ketentuan Pasal 620 KUH Perdata.

Maksud dari pendaftaran dan pengumuman tersebut adalah untuk melahirkan hak milik, sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan hak milik sebagai hak kebendaan (dan hak-hak kebendaan lainnya yang bersumber pada hak milik) oleh seluruh angota masyarakat dan karenanya memberikan hak yang bersifat mutlak atau absolut yang dapat dipertahankan oleh pemegang hak tersebut terhadap siapapun juga yang mengganggu haknya tersebut

 Konsep Perjanjian Secara Hukum Adat

Menurut konsep Hukum Adat, bahwa sifat perjanjian jual-beli hak atas tanah bersifat tunai, riil dan terang. Pembayaran lunas atas harga yang diperjanjikan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah tidak merupakan atau menentukan saat beralihnya hak atas tanah dari penjual kepada pembeli dengan dua argumentasi:

  • Pertama, bahwa untuk melakukan perbuatan hukum berikutnya, pembeli masih memerlukan Kuasa dari penjual, dan
  • Kedua, bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli masih wajib ditindaklanjuti dengan pembuatan Akta PPAT

Pertanyaan yang mengemuka kemudian, jika memang saat peralihan hak belum atau tidak terjadi pada saat seketika harga dibayar lunas, karena masih harus ditindaklanjuti dengan pembuatan Akta PPAT sebagai syarat formil, apakah saat peralihan hak atas tanah terjadi seketika ditandatanganinya Akta PPAT oleh Penjual, Pembeli, Para Saksi, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam hal ini SAYA  sependapat jika peralihan hak atas tanah karena jual-beli terjadi seketika dilakukan pendaftaran balik nama oleh Kantor Pertanahan.

KESIMPULANNYA

  • Kedudukan PPJB-HAT dapat diterima sebagai hukum yang hidup dalam praktik masyarakat Indonesia, serta untuk mengisi kekosongan norma hukum dalam perspektif hukum pertanahan. Pembayaran lunas terhadap harga dalam PPJB-HAT belum mengakibatkan beralihnya hak atas tanah dari penjual kepada pembeli, namun hanya merupakan panjar atau tanda jadi (voorschot). Peralihan hak atas tanah merupakan perjanjian formil (formal), sehingga peralihan hak kebendaan berupa hak atas tanah memerlukan syarat formil (formal). Peralihan hak atas tanah terjadi seketika pada saat dilakukan pendaftaran balik nama pada Kantor Pertanahan.

Materi ini disampaikan oleh penulis pada acara webinar yang diadakan oleh Pengwil INI – IPPAT NTT pada 21 Nopember 2020

penulis adalah Dosen Notariat di Universitas Warmadewa, Bali. 

Penulis adalah Ketua Bidang Perundang-undangan PP IPPAT dan Koordiantor Pakar PP INI

 

 

 

 

 

 

 

 

Previous Post

Gerakan Tanam Pohon UNPAD Bersama Alumni Untuk Jaga Bumi

Next Post

PERAN IP SELAMA DAN PASCA COVID-19

Redaksi

Redaksi

Next Post

PERAN IP SELAMA DAN PASCA COVID-19

Recent News

101 ALB Jabar Ikuti Magang Bersama

101 ALB Jabar Ikuti Magang Bersama

Februari 26, 2021
PROBLEMATIKA HUKUM PENDIRIAN PT UMKM DALAM PRAKTEK

PROBLEMATIKA HUKUM PENDIRIAN PT UMKM DALAM PRAKTEK

Februari 15, 2021
P3ATI Komitmen Perkuat Bidang Pertanahan Dan Agraria

P3ATI Komitmen Perkuat Bidang Pertanahan Dan Agraria

Februari 15, 2021
TAX CONSULTING (RUBRIK BARU TANYA JAWAB SEPUTAR PAJAK BAGI NOTARIS DAN PPAT)

TAX CONSULTING (RUBRIK BARU TANYA JAWAB SEPUTAR PAJAK BAGI NOTARIS DAN PPAT)

Februari 8, 2021

Notary Magazine

Notary Magazine adalah majalah informasi profesi Notaris, PPAT, keagrariaan dan hukum

Follow Us

Browse by Category

  • Banking
  • Land
  • Moot
  • news
  • Politics of Laws
  • Research Gate
  • Tax Consulting
  • Travel
  • World Notary

Recent News

101 ALB Jabar Ikuti Magang Bersama

101 ALB Jabar Ikuti Magang Bersama

Februari 26, 2021
PROBLEMATIKA HUKUM PENDIRIAN PT UMKM DALAM PRAKTEK

PROBLEMATIKA HUKUM PENDIRIAN PT UMKM DALAM PRAKTEK

Februari 15, 2021
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2018 Notary magazine - Powered by Sentramultimedia.

No Result
View All Result
  • Tentang Kami
  • Ketentuan Layanan
  • Hubungi Kami
  • Kategori Berita
    • Research Gate
    • Property

© 2018 Notary magazine - Powered by Sentramultimedia.