(Bandung) Pertumbuhan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, saat ini pelaku UMKM di Tanah Air mencapai angka 60 jutaan. Jumlah tersebut diprediksi akan terus bertambah seiring dengan kemajuan teknologi dan potensi sumber daya manusia yang semakin berkembang.
Tingginya pertumbuhan UMKM tentunya memberikan angin segar bagi perekonomian di Indonesia, salah satunya dengan berhasil membuka banyak lapangan kerja baru. Namun bukan berarti pertumbuhan pesat tersebut lepas dari permasalahan. Berbagai permasalahan UMKM yang ada justru membuatnya kalah bersaing, jalan di tempat, bahkan hingga gulung tikar.
Ayu Wulandari (Pembawa Acara)
Pemerintah memberikan melalui regulasi yang ada telah memberikan kemudahan bagi setiap warga negara Indonesia untuk mendirikan usaha yang berbadan hukum melalui pembentukan Perusahaan Terbatas (PT). Undang-undang (UU) omnibus Cipta Kerja (Cipatker) mengubah sejumlah ketentuan mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Salah satunya, UU Ciptaker mengubah kriteria UMKM. Dalam pasal Pasal 87 Poin 1 UU Ciptaker mengubah Pasal 6 sehingga menjadi kriteria UMKM dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi. Selanjutnya, kriteria UMKM bisa memuat insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha. Namun, UU Ciptaker belum merincikan kriteria UMKM itu karena akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Prof.Dr. Tarsisius Murwadji, SH.,M.H
Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Prof.Dr. Tarsisius Murwadji, SH.,M.H mengatakan, untuk itu perlunya kebutuhan legalitas bagi PT UMK sebagai pendorong ekonomi nasional. “Dari sudut aspek ekonomi UU Cipta Kerja sangatlah mendukung pertumbuhan bisnis UMKM dimasa sekarang. Dan secara pribadi Saya setuju dengan tujuan dari UU Cipta Kerja terutama terkait sektor kemudahan berusaha bagi UMK,” tegas Prof Tarsisius dalam paparannya pada webinar nasional (5/1) yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Notariat Universitas Padjadjaran (Ikano Unpad) bekerja sama dengan Magister kenotaraiatan Unpad dan Ikatan Notary Community (INC) menyelenggarakan webinar nasional dengan mengusung tema “Perseoroan Terbatas, Usaha Menengah Kecil dan Mikro Dalam UU Ciptakerja dan Problematikannya Dalam Praktek”
“Dengan begitu, dukungan legalitas badan usaha maupun kemudahan perizinan menjadi salah satu faktor penting bagi UMK untuk mendapat dukungan pembiayaan atau investasi,” tegas Prof.Dr. Tarsisius Murwadji dihadapan peserta webinar nasional yang dihadiri 500 peserta ini.
Namun demikian, Guru Besar Fakultas Hukum Unpad ini menilai, aspek hukum terutama “kemasan” peraturan perundang-undangannya harus disesuaikan dengan konsep omnibus law yaitu penyederhanaan peraturan perundang-undangan melalui koreksi terhadap hirarkiperaturan perundang-undanganberdasarkan UU 12 Tahun 2011.
Fima Agustina (MC)
Hanya saja, Prof Tarsisius menilai telah terjadi revisi berbagai undang-undang dengan satu undang-undang. Oleh karenanya, perlu dipertanyakan posisi undang-undang yang telah direvisi oleh UU Cipta Kerja, apakah undang-undang tersebut masih menjadi undang-undang mandiri atau berada di bawah UU Cipta Kerja. “UU Cipta Kerja seolah-olah menjadi undang-undang yang memiliki kuasa terhadap undang-undang lain yang derajatnya sama,” ujar Prof Tarsisius.
Guna mengantisipasi masalah yang kemudian akan muncul, baik itu terkait tumpang tindih omnibus law satu dengan omnibus law lainnya, maupun masalah-masalah lainnya, maka diperlukan pedoman yang mengatur konsep omnibus law dalam sistem hukum di Indonesia. Selanjutnya, potensi masalah juga dapat muncul saat ada undang-undang baru yang dibuat dengan konsep omnibus law.
Dekan FH Unpad, Dr. Idris. SH. MA, berkenan membuka webinar nasional “PT UMK Dalam UU Cipta Kerja Dan Problametikanya Dalam Praktek yang diselengagrakan Ikano Unpad, bekerja sama dengan Prodi MKn Unpad dan INC (6/2))
Pertanyaannya, bagaimana kedudukan antara omnibus law satu dengan yang lainnya? Dan bagaimana jika ada pertentangan antara satu omnibus law dengan omnibus law lain. Hal tersebut lanjut Prof Tarsisius, sangat berpotensi terjadi masalah, mengingat posisi omnibus law ini belum jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Omnibus law tentang Cipta Kerja dibuat dalam kondisi yang dapat dikatakan mendesak. Menjadi pertanyaan jika situasi sudah tidak mendesak bagaimana status omnibus law ke depannya. Selain itu, dilihat dari struktur hierarki peraturan perundang-undangan, omnibus law versi Indonesia tidak lebih sederhana, tidak ada perubahan fundamental, bahkan akan menimbulkan keruwetan dalam struktur hukum bilamana omnibus law lebih dari satu.
Davy Natanegara. SH. MKn (moderator)
Dan menurut pandangan Guru Besar FH Unpad ini di dalam peraturan UU Cipta Kerja tidak ada satu katapun yang menyatakan bahwa undang-undang ini merupakan omnibus law, sehingga perlu dipertanyakan bagaimana omnibus law yang seharusnya diatur dalam peraturan.
Dr. Dadang Epi Sukarsa. SH. MH (Kaprodi MKn Unpad tampak hadir dalam ruang virtual webinar nasional ini)
Selanjutnya Guru Besar Fakultas Hukum Unpad ini menyarankan perlunya dipertimbangkan dengan berbesar hati untuk kembali ke sisitem kodifikasi dalam merangcang suatu peraturan. Kalau melihat history di Indonesia, dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah menerapakan penggabungan perundang-undangan dalam satu buku atau kitab undang-undang dikenal dengan Kodifikasi Hukum.
Lantas, Prof Tarsisius menawarkan dua altertif kodifikasi Hukum, yang pertama adalah kodifikasi yang bisa bertahan lama seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan yang kedua kodifikasi hukum yang bisa berubah seperti Undang-Undang Perbankan. Sehingga perlu ditinjau juga Omnibus Law di negara lain. Dan menurut, Prof Tarsisius hanya satu peraturan untuk satu produk Omnibuis Law misalnya; UU Cpta Kerja yang sederhana dengan memperhatikan prinsip lex specialis derogate lex generalis.
Dr. Habib Adjie. SH. M. Hum
Dr. Habib Adjie, SH., M. Hum selaku President INC yang juga Kaprodi Magister Kenotariatan Universitas Narotama, Surabaya menilai pada hakekatnya UU Cipta Kerja itu dibuat merupakan merupakan konsep, yang terpenting menurut dia adalah implementasinya.
Ditegsakan Habib Adjie bahwasannya, menurut pendapat dia, tidak ada kewenangan notaris untuk mendirikan Bumdes, karena Bumdes didrikan berdasarkan Peraturan Desa (Perdes) sebagai produk hukum administrasi (pemerintah desa).
Dalam parktek diungkapkan Habib meskipun Bumdes sudah didirikan dengan Perdes ada juga yang meminta dengan akta Notaris. Lantas apa yang mesti dilakukan Notaris?
“Jika ada yang pemerintah desa yang telah mendririkan Bumdes dengan Perdes tapi meminta kepada Notaris untuk dibuatkan aktanya. Maka notarus bisa membuatkan akta pernyataan pendirian Bumdes. Dan akta pendirian Bumdes tersebut dalam Premisse mengenai Perdes yang bersangkutan. Tentu dengan catatan; notaris dalam membuat akta Bumdes, jika diminta menegaskan pendirian Bumdes yang telah berdiri berdasarkan Perdes, hal ini dilakukan jika diperlukan akta untuk mkepentingan yang bersangkutan.
“Notaris berwenang membuat badan usaha yang berbadan hukum (seperti PT) yang didirikan oleh Bumdes. Tapi notaries mesti nberhati-hati jika ada unit usaha yang berbadan hukum yang didirikan oleh Bumdes yang bermodalkan asset desa,” tegas Habib.
Menurut Habib, jika PT tersebut mengalami kerugian tidak bayar akan di ‘PKPU Kan atau di pailitkan”, untuk membayar utangnya ke kreditur. Maka asset yang ada akan dilelang. Maka dengan begitu jika ini terjadi ranahnya bisa masuk keranah Tindak Pindana Korupsi (Tipikor). Artinya apa, ujungnya pasti akan timbul masala dikemudian hari.
Harap dipahami bahwa di luar kemudahan yang ditawarkan, terdapat persoalan lain di lapangan. Pertama ialah apakah para pelaku usaha akan tertarik dengan kemudahan tersebut?
Aulia Taufani. SH
Notaris – PPAT Jakrta Selatan, Aulia Taufani. SH sebagai pembicara ketiga menjelaskan ketika usaha sudah terdaftar maka data mereka otomatis akan masuk ke database. Di mana konsekuensi perpajakan juga harus terpenuhi. Ditegaskan Aulia, memang ada kemudahan pada peraturan ini, tapi apakah ini juga memang benar-benar akan menarik bagi para usaha itu sendiri. Karena pertama dia akan masuk ke database artinya dia punya konsekuensi perpajakan dan juga semua akan di database, kedua disitu ada kewajiban dia untuk mengolah tata kelola perusahaan dengan baik. Maka pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana edukasi kepada pelaku usaha mikro dan kecil yang sudah menjadi perseroan perseorangan akan hal tersebut.
Satu hal yang menjadi catatan Saya, bagaimana kemudian ditiadakannya unsur notaris dalam pengajuan perseroan perseorangan dinilai akan membuat pelaku usaha tidak mendapatkan advice hukum ketika menjalankan usahanya. Aulia memberi contoh bisa saja suatu saat terdapat komplain dari konsumen kepada perseroan perseorangan, hingga menimbulkan gugatan dan tuntutan hukum. Maka pelaku usaha disarankan untuk memahami dan mampu memisahkan mana yang jadi aset pribadi dan mana yang milik perusahaan. Maka ke depan bagaimana edukasi menjadi poin penting berikutnya.
Aulia merasa khawatir, jika proses pendirian UMK itu tidak melalui Notaris, tapi di sisi lain berarti jika dia tidak melalui notaris maka dia tidak akan mendapatkan advice hukum. Jadi ketika dia melakukan kegiatan usaha berbasis PT UMK dengan data ataupun aktivitas transaksi dan sebagainya tidak berbasis pendapat hukum dari yang mengerti tentang hukum. Risiko-risiko hukum yang terjadi kemungkinan itu bisa melekat di yang bersangkutan. Namun begitu, Aulia sangat mengapresiasi perancangan dan konsepsi aturan ini. Dimana akan mempermudah para UMK dalam hal perizinan dan pendataan. Namun kemudahan tersebut juga harus diiringi dengan antisipasi potensi yang muncul di kemudian hari
Sebelumnya dalam kesempatan opening remarks, Ketua Umum Ikano Unpad, Dr. Ranti Gauxa Mayana. SH menilai bahwa kemudahan berusaha / Ease of Doing Business (EoDB) menjadi salah satu hal yang sangat kuat disuarakan dalam pembentukan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sehingga materi muatan UU Cipta Kerja.
Dr. Ranti Fauza Mayana. SH
UU Ciptaka Kerja menurut Ranti didominasi oleh regulasi terkait konkretisasi Ease of Doing Business (EoDB) mulai dari penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, pemberdaya an UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset inovasi, administrasi pemerintahan, pengadaan lahan hingga pembentukan kawasan ekonomi.
Terkait kemudahan berusaha dan pemberdayaan UMKM, lanjut Dosen Notariat Unpad ini UU
Cipta Kerja secara khusus menghadirkan sejumlah pengaturan terkait Perseroan Terbatas (PT) UMKM, diantaranya ketentuan Pasal 109 angka 5 UU Cipta Kerja yang memberikan kekhususan
bagi perseroan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Usaha Kecil (UMK) dapat mendirikan PT hanya dengan 1 (satu) orang saja. Pendiriannya tidak memerlukan anggaran dasar yang dibuat oleh Notaris, cukup pernyataan pendirian perseroan yang disahkan secara elektronik oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sehingga dapat lebih efisien dari segi biaya dan prosedur.
Selanjutnya, ditegaskan Ranti pada Pasal 109 ayat (3) UU Cipta Kerja menyatakan bahwa besaran modal dasar perseroan dapat ditentukan berdasarkankeputusan pendiri perseroan. Konsep Perseroan yang didirikan oleh perorangan sebenarnya sudah banyak diimplementasikan di berbagai negara diantaranyadi United Kingdom (UK) dimana Single Member Company (SMC) merupakan bagian dari reformasi hukum perusahaan melalui UK Companies Act 2006 yang mengatur bahwa SMC dapat didirikan dengan modal berapapun agar bisa menjalankan usahanya dengan pengecualian terhadap perusahaan yang bergerak dalam sektor tertentu seperti asuransi, perbankan, penerbitan uang elektronikdan investasi.
“Reformasi hukum perusahaan di United Kingdom tersebut merupakan jawaban atas kebutuhan untuk mendorong pengembangan UMKM dan semangat berwirausaha di kalangan komunitas serta menciptakan kemudahan akses wirausaha bagi individu,” terang Ranti.
“PT perorangan juga telah diimplementasikan di Negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura yang dikenal dengan istilah Single-Member Private Limited Liability Company UMKM mainstreaming strategy dalam ketentuan UU Cipta Kerja terkait pendirian PT UMKM salah satunya dikarenakan UMKM merupakan sektor usaha yang memiliki peran dan dampak signifikan dalam pertumbuhan ekonomi dengan konstribusi yang signifikan pula bagi Pendapatan Domestik Bruto, sektor UMKM juga menyerap sebagain besar tenaga kerja di Indonesia,” imbuh Ranti.
Ditegaskan Ranti, bwa UMKM juga terbukti merupakan sektor yang resilient dan dapat cepat bangkit dari krisis sehingga dapat menjadi aktor utama penggerak Pemulihan Ekonomi Nasional dan menjadi salah satu stressing point terkait upaya peningkatan peringkat Indonesia dalam daftar Ease of Doing Business melalui indikator dalam kemudahan memulai usaha (starting a business).
Dan kemudahan pendirian PT bagi UMKM, menurut Ranti di satu sisi merupakan suatu terobosan positif, namun di sisi lain tentunya berpotensi menimbulkan risiko hukum dan problematika hukum dalam praktik mengingat PT merupakan salah satu entitas yang sangat dominan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis yang berhubungan langsung dengan masyarakat serta pihak ketiga lainnya termasuk kreditur.
“Menjadi suatu hal yang sangat penting untuk mencari titik temu dan keseimbangan antara kemudahan berusaha dan perlindungan masyarakat, pihak ketiga dan juga kreditur agar kemudahan berusaha yang diberikan oleh UU Cipta Kerja ini dapat berdampak positif bagi pemberdayaan UMKM, pemulihan ekonomi serta dapat mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development),” ujar Ranti.